NURUDDIN AL-RANIRI

NURUDDIN AL-RANIRI

Nuruddin ar-Raniri berasal dari Ranir (sekarang Rander), sebuah kota pelabuhan di Gujarat, India Barat. Beliau berasal dari keluarga Arab-Hadhrami (Yaman) yang bermigrasi ke India, sehingga mendapat nisbah “ar-Raniri”. Lahir dari keluarga ulama dan pedagang Muslim di Ranir. Selain itu, beliau juga mempelajari berbagai ilmu-ilmu ajaran Islam seperti Tasawuf, Fiqih mazhab Syafi‘i, Hadis, Teologi (kalam), hingga Bahasa Arab. Sebelum ke Aceh, ia melakukan perjalanan intelektual ke berbagai pusat ilmu di India dan Timur Tengah. Catatan sejarah tidak menyebutkan tanggal lahir secara pasti, namun para sejarawan sepakat bahwa beliau lahir sekitar akhir abad ke-16, diperkirakan antara 1580–1590 M, di Ranir (Rander), Gujarat, India. Beliau wafat sekitar tahun 1658 M di Gujarat, India, setelah kembali dari Aceh. Sebagian catatan menyebutkan ia meninggal di surau (khanqah/sufi lodge) yang dipimpinnya di daerah Gujarat. Beliau memulai pendidikan agama di kampung halamannya. Kemudian beliau melanjutkan studi ke Tarim, Hadramaut (Arab Selatan), yang pada masa itu dikenal sebagai pusat belajar Islam. Sekitar tahun 1621 M, beliau menunaikan ibadah haji dan mengunjungi Mekkah dan Madinah. Di sana, beliau berinteraksi dan berjejaring dengan jamaah haji serta pelajar dari berbagai wilayah, termasuk Nusantara. Setelah periode studi dan ziarah tersebut, beliau akhirnya merantau ke Nusantara khususnya ke Aceh dan tiba di sana tahun 1637 M (ada juga catatan alternatif 1633 M). Di Aceh, beliau kemudian aktif sebagai ulama, penulis karya keagamaan dan teologi, serta mufti/penasihat istana. Gurunya, yaitu Sayyid Umar al‑Aydarus (juga dikenal sebagai Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhrami) Ar-Raniri belajar tarekat Rifa'iyyah, dan bahkan pernah diangkat sebagai khalifah tarekat tersebut. Beberapa guru tarekat dan ulama Hadramaut serta Arab Selatan lainnya yang memberi wadah pembelajaran sufisme, kalam, fikih, tauhid, sejarah, dan perbandingan agama. Selain itu, latar keluarganya juga mendukung ayahnya berasal dari garis Hadramaut (Arab), dan ibunya dari keturunan Melayu ini memberikan ikatan budaya dan keagamaan yang luas. Karena itu, Ar-Raniri dikenal sebagai ulama yang memiliki penguasaan berbagai ilmu pengetahuan seperti sufisme, fikih, kalam, hadits, sejarah, serta perbandingan agama.

Belajar dan berkarya seperti Ar-Raniri pada abad ke-17 tidak semudah sekarang. Beberapa tantangan dan hambatan yang beliau hadapi seperti jarak geografis dan perjalanan jauh, berpindah dari India ke Arab Selatan, kemudian ke Mekkah-Madinah, lalu kembali ke India, dan akhirnya ke Aceh. Lerjalanan itu di zaman itu penuh risiko karena transportasi lambat, rawan badai laut, kondisi tak nyaman, bahkan kadang medis terbatas. Selain itu, perbedaan budaya, lingkungan baru beradaptasi dengan lingkungan Arab, kemudian Aceh (Nusantara) yang memiliki adat, bahasa, dan tradisi Islam berbeda butuh adaptasi sosial. Situasi keagamaan di Aceh yang majemuk dan penuh kontroversi ketika Ar-Raniri tiba, di Aceh berkembang kuat aliran sufisme-filosofis (misalnya dongeng “wahdatul wujud”) oleh ulama seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as‑Sumatrani. Ar-Raniri sebagai penganut sufisme ortodoks dan teologi Sunni menentang paham tersebut. Karena itu, kedatangannya awalnya tidak disambut hangat, dan terjadi konflik intelektual-teologis. Tekanan politik dan religius sebagai ulama negara atau penasihat istana, karena sewaktu ia menjadi penasihat di istana Kesultanan Aceh, posisi ini membawa tanggung jawab besar seperti memberikan fatwa, ikut menentukan kebijakan keagamaan, dan terkadang harus bersikap tegas dalam menegakkan ortodoksi yang bisa memunculkan salah paham baru atau kontroversi. Perbedaan latar belakang, sebagai orang India-Hadramaut di tanah Melayu ini menuntut kemampuan intelektual, bahasa, dan kepekaan sosial supaya bisa diterima. Dan keberaniannya menentang paham yang dianggap menyimpang (sufisme filosofis / wujudiyyah), Ar-Raniri menjadi cikal bakal pembaruan Islam ortodoks di Aceh pada abad ke-17. Karya-karya beliau (sekitar 29 kitab) menjadi pijakan penting bagi tradisi ulama di Nusantara. Keberadaannya menunjukkan bahwa tradisi “menuntut ilmu antar-daerah / lintas benua” sudah berlangsung dari zaman klasik, dengan ulama Nusantara maupun diaspora Muslim tidak ragu untuk belajar hingga ke pusat-pusat intelektual dunia Islam. Beliau menghasilkan beberapa karya penting dalam bidang keilmuan Islam seperti fiqih, tafsir, hadis, atau tasawuf. Karyanya yang paling terkenal adalah Bustanussalatin yang berisikan tentang kehidupan Aceh pada abad ke-16 hingga abad ke 17. Karya-karyanya mudah dipahami, memberi solusi bagi masyarakat, dan dijadikan rujukan di banyak pesantren serta lembaga Islam di berbagai negara. Pemikirannya tetap digunakan hingga sekarang karena kedalaman ilmunya. Beliau dikenal secara internasional dalamp bidang keilmuan Islam sesuai keahliannya. Kontribusinya meliputi dakwah, pendidikan, penulisan kitab, serta menjadi rujukan hukum. Pengaruh perjuangannya menyebar ke berbagai negara seperti Mekkah–Madinah atau wilayah tempat beliau mengajar dan berdakwah, sehingga pemikirannya dikenal luas di dunia Islam. Bentuk Perjuangan Nurrudin Ar-Raniri dalam Menghadapi Tantangan Zamanya.

Tantangan utama Nurrudin Ar-Raniri pada abad ke-17 adalah maraknya ajaran tasawuf falsafi aliran Wujudiyyah yang dianggap dapat menyesatkan akidah. Untuk menghadapinya, Ar-Raniri melakukan beberapa bentuk perjuangan yaitu perjuangan intelektual dengan menulis banyak kitab untuk membantah ajaran Wujudiyyah, menjadi mufni dan penasihat sultan hingga dapat memengaruhi kebijakan kerajaan dalam penerapan hukum syariat, memimpin gerakan pemurnian dengan menolak ajaran Wujudiyyah yang di anggap ekstrem. Keberanian Ar-Raniri dalam Berdakwah

Ar-Raniri menunjukkan keberanian melalui langkah-langkah tegas, yaitu mengeluarkan fatwa sesat terhadap Wujudiyyah dan menghukum penganutnya yang menolak bertobat, memerintahkan pembakaran karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani sebagai upaya menghentikan penyebaran ajaran mereka, tidak gentar menghadapi pertentangan dari para ulama sufi, tetap konsisten dalam menjaga kemurnian akidah umat. Relevansi untuk Generasi Sekarang, Ar-Raniri memberi teladan penting bagi remaja masa kini. Semangat keilmuannya terlihat dari produktivitas menulis dan penguasaan multidisiplin, yang mengajarkan remaja untuk membangun budaya membaca, menulis, serta memperluas wawasan di berbagai bidang. Sikap kritisnya dalam membantah ajaran menyimpang menunjukkan pentingnya kemampuan berpikir analitis dan moderasi beragama—remaja perlu bijak memilah informasi serta menjaga sikap toleran. Keberanian intelektual Ar-Raniri dalam mempertahankan akidah juga menginspirasi remaja untuk memegang prinsip, berintegritas, dan menggunakan ilmu demi kebaikan masyarakat. Jika di kemudian hari saya bisa bertemu dengan beliau, yang saya ingin tanyakan adalah

Mengapa beliau begitu gigih dalam mempelajari ilmu islam hingga membuat karya-karya ajaran mengenai islam aliran qadariyah? Apa yang menjadi alasan bagi beliau dalam mempelajari segala ilmu-ilmu yang sangat erat kaitannya dengan ajaran islam? Dan juga apa arti islam bagi beliau?. Alasan saya ingin menanyakan hal tersebut adalah, karena saya masih butuh sosok pendorong untuk memperkuat motivasi saya agar dapat belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh tanpa paksaan dan tanpa memandang Islam sebagai agama yang hanya mementingkan surga dan neraka saja. Kutipan inspiratif Al Raniri

Yakin bahwa cinta dan kepatuhan kepada Tuhan adalah kebaikan dan kehormatan terbesar, seorang pemula harus melepaskan keinginan sendiri untuk memenuhi tuntutan Allah, yakni kebenaran".

Berita Popular

Advertisement