Hati yang mengajarkan arti pengorbanan
Sejak kecil, kita tumbuh dengan keyakinan bahwa dunia ini tempat yang aman—bukan karena dunia benar-benar aman, tetapi karena ada sepasang hati yang selalu berdiri di depan kita, menghadang segala kemungkinan buruk yang bisa melukai. Hati itu milik orang tua kita, hati yang selalu siap terluka asalkan kita tetap utuh. Meski sering tak disadari, cinta mereka adalah pondasi pertama yang membuat kita berani menatap hidup.
Mamah, mengajarkan pengorbanan lewat caranya memeluk, bukan lewat kata-kata. Ada malam-malam ketika ia rela tidak tidur hanya untuk memastikan kita bisa terlelap dengan tenang. Ada hari-hari ketika ia menahan lelah, menyimpan sakit, menyembunyikan tangis—semua supaya kita tidak merasa terbebani. Dalam diamnya, terkandung cinta yang begitu dalam, yang sering kali baru kita pahami setelah dewasa.
Ayah, dengan caranya yang lebih keras dan lebih sunyi, mengajarkan bahwa pengorbanan tidak selalu terlihat. Tangan kasarnya adalah buku harian perjuangan, langkahnya yang berat adalah syair tentang semangat yang tak pernah padam. Ia mungkin tidak sering mengucap "aku sayang kamu," tetapi setiap keringat yang jatuh adalah kalimat cinta paling jujur yang pernah ada.
Seiring bertambahnya usia, kita akhirnya mengerti bahwa pengorbanan orang tua tidak hanya soal tenaga, tapi juga soal waktu dan mimpi. Ada mimpi yang mereka kubur agar mimpi-mimpi kita bisa tumbuh subur. Ada keinginan yang mereka sisihkan demi melihat kita tersenyum. Mereka rela tidak menjadi apa-apa agar kita bisa menjadi seseorang.
Dalam setiap nasihat yang terdengar seperti larangan, sesungguhnya tersimpan ketakutan halus: ketakutan kehilangan, ketakutan melihat kita tersakiti, ketakutan bahwa mereka tidak lagi mampu menjaga seperti dulu. Mereka tidak sempurna, tetapi cinta mereka selalu mengarah pada keinginan yang sama—agar kita bahagia, meski kebahagiaan itu menjauhkan kita dari mereka.
Surah Al-Isra’ ayat 23–24
﴿فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا﴾
Ayat 24:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya sebagaimana mereka telah mendidikku sejak kecil.’”
Kadang, kita baru menyadari nilai pengorbanan ketika jarak dan waktu mulai memisahkan. Ketika rindu menjadi tamu yang sering datang tanpa permisi, ketika suara orang tua yang dulu kita anggap biasa kini menjadi obat bagi hati. Pada saat itulah kita sadar, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi dua hati yang selalu menunggu kita kembali.
Keridaan Allah bergantung pada keridaan kedua orang tua :
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.”
— HR. Tirmidzi
Pengorbanan mereka tidak pernah menuntut balasan, tetapi bukan berarti tidak pantas dibalas. Balasannya bukan harta, bukan kemewahan—cukup perhatian, doa, dan kehadiran yang tidak lagi kita tunda. Cukup kabar kecil yang menenangkan, cukup penghargaan sederhana yang menegaskan bahwa mereka tidak pernah sia-sia mencintai kita.
Akhirnya, kita belajar bahwa pengorbanan terbesar bukan tentang seberapa banyak yang diberikan, tetapi seberapa dalam cinta yang mendasarinya. Orang tua mengajarkan bahwa mencintai berarti rela memayungi meski diri sendiri kehujanan. Mereka memberi contoh bahwa cinta tidak perlu diumumkan—cukup dirasakan, dijaga, dan diwariskan. Karena dari hati merekalah kita memahami arti pengorbanan yang sesungguhnya.
"Mereka tidak selalu punya apa yang kita minta, tapi selalu memberikan apa yang kita butuhkan.”

Komentar
Tuliskan Komentar Anda!